Mengenai Saya

Foto saya
Deposuit potentes de sede et exaltavit humiles

Search Here

Loading

Like To Read Books?

Rabu, 15 Juni 2011

Bangsa Tak Berkarakter, Akibat Absennya Pendidikan Kejujuran


Melihat compang-campingnya kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini membuat kita semua mempertanyakan apa yang salah dengan negara ini. Korupsi, kriminalitas, dan masalah-masalah lain selalu memenuhi layar televisi kita. Berita-berita pun semakin hari semakin mengungkapkan kebobrokan kehidupan bangsa ini. Mulai dari kejahatan kelas tinggi yang dilakukan para pejabat hingga kejahatan kelas teri yang dilakukan rakyat jelata atas dasar ‘terpaksa’. Lalu apa yang sebenarnya salah di negeri ini? Jika kita tarik garis lurus, dapat diambil kesimpulan bahwa semua hal yang terjadi saat ini hanya sebagian kecil akibat kegagalan kita dalam dunia pendidikan.

Dunia pendidikan kita saat ini seolah-olah hanya berorientasi mengejar ketertinggalan dengan negara-negara asia tenggara lainnya. Namun pada titik terpenting sistem yang telah bertahun-tahun diterapkan seakan lupa terhadap fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa. Akhirnya bangsa kita pun tumbuh menjadi bangsa yang tak punya karakter. Dalam perkembangannya, pendidikan kejujuran kini bukan saatnya lagi hanya menjadi obrolan dari warung ke warung, dari mulut ke mulut. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk mulai menerapkan pendidikan kejujuran pada tingkat dasar, menengah sampai tingkat tinggi.

Dalam Pancasila telah disebutkan cita-cita bangsa Indonesia, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Cita-cita yang mulia ini belum akan tercapai bila manusia-manusia Indonesia belum menjadi manusia yang berkarakter Pancasila. Semakin lama kita semakin terjerat gaya hidup manusia modern. Kita tak lagi peduli dengan masalah kemanusiaan, selama apa yang terjadi tidak terjadi pada orang yang berarti bagi kita.

Oke, kembali pada masalah pendidikan. Sedikit gambaran tentang bagaimana potret dunia pendidikan kita. Mari kita kembali sejenak ke masa lalu. Dahulu pada jaman kolonialisme, pendidikan di negeri ini hanya didasarkan pada satu hal, pemenuhan tenaga kerja untuk pemerintah kolonial. Dalam artian pendidikan saat itu hanya berorientasi pada uang (money oriented). Hal ini pulalah yang terjadi pada pendidikan kita beberapa tahun terakhir ini. Para tenaga pendidik seperti menciptakan peperangan mencari nilai terbaik tanpa memperhatikan unsur-unsur yang lebih penting daripada angka-angka itu sendiri. Apalagi dengan mainset yang sudah terlanjur berkembang pada masyarakat luas dan menjadi sebuah aturan tak tertulis, bahwa kita sudah seharusnya sekolah kemudian kuliah dan bekerja. Tanpa memperhatikan bagaimana proses kita menjalani hal tersebut. Hal-hal demikianlah yang terus-menerus diulangi dan diulangi hingga terbentuk manusia-manusia yang tak berkarakter. Kita hanya seperti mengisi bejana dengan air, padahal pendidikan itu layaknya menyalakan api dalam gelap.

Beberapa kasus terbaru yang ikut menelanjangi tubuh pendidikan Indonesia adalah adanya menyontek massal pada ujian nasional SD yang parahnya telah dikoordinasi sebelum UN oleh salah satu guru pengajar. Para pejabat yang juga merupakan hasil pendidikan semakin mempermalukan sistem pendidikan kita dengan korupsi yang merajalela. Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan kejujuran merupakan materi dalam dunia pendidikan kita yang terlupakan.

Pendidikan kejujuran dapat diartikan sebagai pembentukan karakter pada peserta didik. Pendidikan kejujuran sebaiknya dilakukan sejak usia dini dan dibarengi juga dengan pendidikan moral, logika dasar, dan filsafat.

Pemberian materi pendidikan kejujuran harus didasarkan pada empat hal yang tidak boleh dilupakan, diantaranya:
1. Keserasian antara teori yang diberikan dan prakteknya dalam kehidupan sehari-hari (das Sollen und das Sein). Materi yang diberikan dapat diaplikasikan dan dapat digunakan dalam mencari solusi.
2. Membentuk lingkungan yang mendukung pelaksanaan pendidikan kejujuran baik dalam lingkup keluarga, sekolah dan masyarakat. Materi sebaik apapun tidak akan diserap dengan baik tanpa dukungan lingkungan sekitar.
3. Kemampuan menempatkan diri. Guru seharusnya menjadi guru, bukan menjadi pedagang buku. Jaksa seharusnya menjadi jaksa bukan penjual kasus.
4. Pembentukan karakter yang kuat. Pemberian materi moral akan mampu membantu siswa membedakan mana yang benar dan salah. Pepatah Agere Contra, yaitu bertindak sebaliknya dari keinginan sesaat yang muncul perlu dibiasakan untuk membentuk kemauan keras dalam membuat pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer